Minggu, 03 Mei 2015

Tabel Aksara Kawi Awal Standar


Tulisan ini adalah revisi dari artikel sebelumnya, yang berjudul sama. Tautan artikel tulisan lama akan secara otomatis dialihkan ke artikel ini. Lihat juga posting ini: http://tikusprasasti.blogspot.com/2014/10/poster-aksara-kawi-standar.html
 
Gambar 1. Aksara Vokal
Aksara Kawi Awal tipe Standar, atau disebut juga sebagai Aksara Kawi Awal baku (van der Molen, 1985) adalah aksara Kawi yang muncul pada abad ke-9 hingga abad ke-10. Aksara tipe ini paling banyak digunakan pada masa pemerintahan Kayuwangi (856-882 M)  dan Balitung (899-910 M), sedangkan pada pemerintahan Raja Daksa (910-919 M), tidak ditemukan banyak peninggalannya (de Casparis, 1975). Adapun prasasti yang memiliki aksara tipe ini adalah: p. Wanua Tĕngah, p. Polengan, p. Taji, p. Mantyasih, p. Jurungan, dll.



Rekonstruksi bentuk

Gambar 2. Aksara Konsonan
Bentuk aksara yang saya tampilkan pada tabel ini jelas tidak sama dengan persis gaya penulisan citralekha di prasasti-prasasti. Namun, aksara yang ada pada tabel ini adalah aksara Kawi gaya saya. Walaupun demikian, tentunya tetap dibuat berdasarkan ciri aksara yang muncul di prasasti-prasasti di kurun waktu berkembangnya aksara ini. Bentuk-bentuk aksara yang disusun dibuat semirip mungkin dengan aksara-aksara di prasasti. Dengan merujuk pada deskripsi dari buku Indonesian Palaeography oleh de Casparis (1975). Tak dapat dipungkiri bahwa ada aksara yang belum ditemukan bentuknya sehingga set aksara tidak lengkap. Untuk itu, diperlukan upaya rekonstruksi. Rekonstruksi ini tentulah masih sangat dangkal, karena hanya mengandalkan sedikit bahan prasasti. Namun, masih ada keyakinan bahwa rekonstruksi ini bisa sedikit dipercaya. Karena, aksara-aksara Kawi, memiliki pola-pola yang bisa diamati berdasarkan bentuk aksara purwarupanya (Pallawa), anatomi/bangun aksaranya, dan kemunculan saling tukar bentuk beda aksara untuk bunyi yang sama. Aksara atau bentuk yang direkonstruksi adalah yang diwarnai merah dalam tabel.

Gambar 3. Angka dan Tanda Baca
Prasasti-prasasti seperti p. Wanua Tĕngah, p. Polengan, p. Taji, p. Mantyasih, p. Jurungan, dll. menampilkan aksara yang tertatah apik, meskipun tanpa bentuk-bentuknya yang banyak hiasan. Ditambah lagi pengaturan jarak antar alinea dan hurufnya teratur. Beberapa prasasti menampilkan aksaranya yang ditatahkan miring (lihat p. Polengan).  Bentuk aksara juga sering ditemukan beragam antar prasasti. Salah satu contoh yang saya ketahui adalah aksara tha. Terkadang aksara ini berbentuk mirip wa yang bercoret horizontal di tengah, namun terkadang juga tampil mirip dengan simbol infinite (∞).



Kuncir

Gambar 4. Simbol
Kuncir merupakan bagian aksara yang khas dalam aksara Kawi Awal Standar. Meskipun de Casparis menulis bahwa aksara i-, na, da, ja adalah aksara yang selalu tanpa kuncir, aksara nga sepertinya juga mengalami hal serupa. Bagian terminal (ujung garis aksara) – sebelah kanan atas – menurut saya bukanlah kuncir atau serif, namun masih bagian dari stroke huruf. Penggunaan kuncir yang tidak seragam antar prasasti, membuat dilema tersendiri. Sebagai contoh adalah aksara berkuncir ba (lihat p. Polengan), ṇa (lihat p. Gilikan),  padahal pada prasasti Kwak I (OD-1507) dan prasasti OD-1508 , ba dan ṇa tidak dibuat berkuncir. Tidak baik mereka-reka tanpa kajian, namun upaya penyamarataan aksara ini pastilah beralasan. 


Penghilangan kuncir

Pada aksara ka, ta, dan ga, kuncir menghilang jika dipasangkan dengan wirāma, diakritik i, ī, ĕ, dan ő. Sepertinya hal yang sama juga dapat terjadi pada aksara kha dan śa karena memiliki ciri yang mirip. Lihat Gambar 1 dan 4.


Menghindari ambiguitas aksara

Gambar 5. Varian Penyandangan ā
Bentuk aksara seringkali menjadi mirip dengan aksara yang lain jika penyandangan diakritik ā tidak diperhatikan dengan baik (ambigu). Seperti contoh yang saya buat di posting-an mengenai aksara Bali Kuna zaman Raja Śrī Suradhīpa (di sini), aksara akan menjadi illegible (sulit dibaca). Untuk mengatasi hal itu, rupanya leluhur kita telah menemukan caranya, yaitu penyandangan allograf ā dibuat berbeda pada aksara-aksara tertentu. Adapun aksara-aksara tersebut antara lain: gha, ṅa, ja, ña, ṭa, ḍa,pha, ba, la, ṣa, dan ha.  Sedangkan untuk aksara ḍha, merupakan hasil rekonstruksi.


Gambar 6. Bentuk Cara Lama dan Baru  ña, ṇa, dan ha
Cara lama dan cara baru

Aksara ña, ṇa, dan ha  adalah aksara yang unik. Ketiga aksara ini sering dibuat tidak seragam, ketika membentuk ligatur. Ketidakseragaman yang dimaksud adalah penyandangan suku (vokalisasi u (juga suku ilut ū)) dan pembentukan ligatur bersama beberapa aksara konsonan. Beberapa tatahan menyandangkan vokalisasi suku di tengah aksara, namun terkadang malah di garis vertikal ujung aksara. Jadi, menurut saya ada cara lama yang masih melekat dan cara baru yang pernah diterapkan. Cara lama menandakan pemasangan atau penyandangan masih memiliki ciri dari aksara Pallawa. Sedangkan cara baru menghilangkan ciri Pallawa dengan menyamakan aksara-aksara ini dengan yang lain, sehingga cirinya seragam.



Referensi

de Casparis, J. (1975). Indonesian Palaeography: a History of Writing in Indonesia from the Beginning to c.A.D. 1500. Leiden/Kőln: E.J. Brill.

Suryani NS, E. (2012). Filologi. Bogor: Ghalia Indonesia.

Rustan, S. (2010). Font & Tipografi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

van der Mollen, W. (1985). "Sejarah Perkembangan Aksara Jawa" dalam Aksara dan Ramalan Nasib dalam Kebudayaan Jawa, Soedarsono, dkk (Peny.) no.13, Yogyakarta: Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara, Direktorat Jendral Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.Terdapat pada http://epigraphyscorner.blogspot.com/2014_05_01_archive.html, diakses tanggal 4 Mei 2015.

1 komentar: