Sabtu, 15 Oktober 2016

Revisi Tabel Aksara Kawi Awal Standar

Oleh: Ida Bagus Komang Sudarma, 2016.

Tabel ini adalah revisi dari tabel aksara Kawi Awal Standar sebelumnya (lihat di sini). Beberapa pembaruan yang terdapat pada tabel ini, adalah:
  1. dibuat dengan font aksara Kawi 'Parthasundari',
  2. revisi sandhangan dari /au/,
  3. revisi aksara 'ṭha' dan pasangannya, dan
  4. tambahan beberapa varian penulisan ligatur.


  
Sedikit Uraian



1. Sandhangan /au/
    Pada tabel sebelumnya, sandhangan /au/ masih ditandai dengan warna merah disebabkan karena keragu-raguan. Bentuknya direkonstruksi dari pola penulisan modern, yaitu sandhangan /ai/ yang ditambahi  tarung/tedung.
    Sandhangan /au/ pada tabel baru dibuat berdasarkan guratan beberapa prasasti seperti prasasti Dinaya (lihat di sini), Pereng (lihat di sini dan di sini), prasasti Pucangan atau Calcutta Stone yang tersohor itu (Witasari, 2009), prasasti singkat dari Candi Gunung Wukir (Degroot, V., Griffiths, A., & Tjahjono, B, 2010), prasasti koleksi museum Ranggawarsita, Semarang (Griffith, 2012), dan prasasti berbahasa Sansekerta dari Pejeng, Bali (Stutterheim, 1929; Goris, 1954). Berdasarkan guratan aksara dan transliterasi dari para ahli tersebut, maka diputuskan untuk mengambil bentuk sandhangan ini. Bentuk yang bisa diperhatikan di tabel menujukan gabungan dari 2 grafis melingkari aksara dari baseline ke atas. Grafis di sebelah kiri aksara dasar sama dengan sandhangan /e/ (taling). Sedangkan grafis satunya lagi menyerupai  tarung/tedung, hanya saja selalu ditulis dari attachment point atau titik tempel aksara, naik sedikit, kemudian melengkung ke kiri, baru melingkari aksara searah jarum jam dan berakhir di garis kaki (baseline). 

2. Aksara Ṭha dan Sandhangannya
    Aksara ṭha belum pernah terlihat diidentifikasi sebagai aksara tunggal, kecuali pada lempeng prasasti emas dari desa Jeruk, dan bentuknya yaitu lingkaran tertutup tanpa kuncir (lihat di sini). K. F. Holle (1882) pernah mencantumkan pasangannya (hal. 4) dengan bentuk hampir spiral berlawanan arah jarum jam dengan ujung yang pendek. Aksara itu dinyatakan berasal dari Yogyakarta, tahun 828 Saka (beselmeven steen van Djogja). Pada prasasti Polengan II (797 Saka), bentuk serupa juga muncul. Sebagaimana pola yang terjadi pada aksara Kawi, bentuk antara aksara dan pasangannya tidak berbeda jauh. 
     Ada beberapa prasasti yang merujuk bentuk spiral itu sebagai aksara tunggal, antara lain: prasasti Gilikan, Tulang Air (772 Saka), Wayuku (779 Saka), Pananggaran (791 Saka), dan Mantyasih II (829 Saka). Namun jika ditelaah, prasasti-prasasti itu malah menunjukkan bahwa bentuk spiral itu mengambil bagian suara 'tha'. Hal ini bisa dilihat dengan melihat konteks kalimat dan pola wyañjana sandhi (persandian konsonan). Bisa dibaca bahwa semua grafem itu muncul pada kata 'tithi'. Kata 'tithi' berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti siklus 15 harian dalam kalender lunar. Jadi bisa dipastikan bahwa grafem itu tidak mewakili ṭha. 
    Di prasasti Polengan II, pasangan berbentuk spiral muncul di bawah aksara 'ta'. Menurut kelompok aksara berdasarkan artikulasinya, 'ta' berada dalam kelompok 'dantya' atau huruf dental/gigi. Menurut hukum persandian, 'ta' tidak tepat jika dipasangkan dengan ṭha, karena berbeda kelompok artikulasi (ṭha berada dalam kelompok suara 'murdhanya' atau retrofleks). Maka ligatur yang dibentuk tersebut harus dibaca sebagai  'ttha'. 
    Kebetulan, aksara tha juga memiliki bentuk persegi empat tertutup dengan sudut tumpul, ditambah garis horizontal di tengah aksara (seperti yang terlihat di tabel). Bentuk ini muncul di prasasti Pereng (785 Saka) dan Wanua Tengah III (830 Saka). 
    Tidak diketahui prasasti apa yang dijadikan Holle sebagai acuan gambar pasangan ṭha dalam tabel Holle. Bisa saja Holle keliru membacanya atau memang telah terjadi aktivitas saling pakai-tukar aksara dikarenakan keterbatasan penulis dalam kepemilikan set aksara. Sebagaimana aksara yang "lenyap" di ortografi aksara Jawa dan Bali sekarang, maka dipakai aksara lain yang pelafalannya mirip. 
    Suatu hal yang menarik adalah aksara yang diidentikkan sebagai ṭha muncul pada masa belakangan, seperti prasasti Manjusri di Candi Jago (1265 Saka) (lihat di sini) dan prasasti Buddha Aksobhya "Joko Dolog" (1211 Saka) (lihat di sini). Aksara di masing-masing prasasti diidentifikasi sebagai wakil dari suara ṭha.  Pertama, muncul pada kata "...pratiṣṭhitaṃ..." pada prasasti Joko Dolog (Poerbatjaraka, 1922) dan "...supratiṣṭhitaḥ..." pada prasasti Mañjuśrī (Damais, 1955). Secara bentuk, kedua aksara tersebut malah mirip dengan aksara ṭa namun dengan ujung garis melingkar, membentuk sebuah simpul kecil.
    Saya ingin merekonstruksi aksara ini melalui aksara-aksara yang hubungan kekerabatannya dekat dengan aksara Kawi, yaitu aksara Pallawa. Pada prasasti Kedukan Bukit (Boechari, 2012; Coedes, 2014) dan prasasti Grahi dari Thailand -- yang dikatakan sangat erat kaitan keaksaraannya dengan aksara corak Kawi (Coedes, 2014) -- dapat diamati dengan jelas bentuk dari pasangan ṭha. Pada prasasti Kedukan Bukit dari Palembang, pasangan ṭha berbentuk lingkaran tertutup. Sedangkan pada prasasti Grahi berbentuk lingkaran terbuka dan ditulis searah jarum jam.


--------- 

   Data ini bisa digunakan sebagai pelengkap tabel sebelumnya berikut penjelasannya. Beberapa varian penulisan yang baru ditambahkan dalam tabel ini adalah ligatur yang muncul pada penjelasan, namun tidak masuk ke tabel sebelumnya.
   Semoga tulisan ini bisa bermanfaat bagi siapapun yang hendak mempelajari aksara Kawi atau yang aksara kerabat atau aksara turunan berhubungan.



Referensi 

Boechari. 2012. Melacak Sejarah Kuno Indonesia Lewat Prasasti. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.


Damais Louis-Charles. II. Etudes d'épigraphie indonésienne : IV. Discussion de la date des inscriptions. In: Bulletin de l'Ecole française d'Extrême-Orient. Tome 47 N°1, 1955. pp. 245.

Degroot, V., Griffiths, A., & Tjahjono, B. (2010). Les pierres cylindriques inscrites du Candi Gunung Sari (Java Centre, Indonésie) et les noms des directions de l'espace en vieux javanais. Bulletin de l'École française d'Extrême-Orient, 97, 367-390.

George Coedes, Louis-Charles Damais, Hermann Kulke, Pierre-Yves Manguin. (2014). Kedatuan Sriwijaya. Jakarta: Komunitas Bambu.

Goris, R. (1954). Prasasti Bali. 2 vols. Bandung, Indonesia: Lembaga Bahasa Budaya Universitas Indonesia.

Griffiths, A. (2012). The epigraphical collection of Museum Ranggawarsita in Semarang (Central Java, Indonesia). Bijdragen tot de taal-, land-en volkenkunde/Journal of the Humanities and Social Sciences of Southeast Asia, 168(4), 472-496.

Poerbatjaraka, R. Ng. - De inscriptie van het Mahaksobhya-beeld te Simpang (Soerabaya). 's-Gravenhage, Martinus Nijhoff, 1922. 38p.

Stutterheim, W. F. (1929). Oudheden van Bali (Vol. 1). Kirtya Liefrinck-van der Tuuk.

Witasari, V. H. (2009). Prasasti Pucangan Sansekerta 959 Śaka: Suatu Kajian Ulang' (Doctoral dissertation, MA Thesis (Universitas Indonesia)).

5 komentar:

  1. terima kasih Pak, minta ijin nyimpan tulisannya

    BalasHapus
  2. You are doing an amazing job. I just got information regarding your blog from A. J. West who was so kind in making available resources on Old Javanese. I lived in Indonesia as a foreign student 2010 till 2014 and studied financial management. However I was deeply impressed but extremely rich culture and civilization of Indonesia. These days I am trying to learn Old Javanese. Your blog is a wonderful place..

    BalasHapus
    Balasan
    1. It is my pleasure to share knowledge of Old Javanese script to other. I hope you have no problem with the language, since I only use Bahasa Indonesia in my postings. Do you have any old script in your culture?

      Hapus
    2. So, may I know who is A.J. West?

      Hapus