Tulisan ini adalah
revisi dari artikel sebelumnya, yang berjudul sama. Tautan artikel tulisan lama
akan secara otomatis dialihkan ke artikel ini. Lihat juga posting ini: http://tikusprasasti.blogspot.com/2014/10/poster-aksara-kawi-standar.html
![]() |
Gambar 1. Aksara Vokal |
Aksara Kawi Awal tipe Standar, atau disebut juga sebagai Aksara
Kawi Awal baku (van der Molen, 1985) adalah aksara Kawi yang muncul pada abad
ke-9 hingga abad ke-10. Aksara tipe ini paling banyak digunakan pada masa
pemerintahan Kayuwangi (856-882 M) dan
Balitung (899-910 M), sedangkan pada pemerintahan Raja Daksa (910-919 M), tidak
ditemukan banyak peninggalannya (de Casparis, 1975). Adapun prasasti yang
memiliki aksara tipe ini adalah: p. Wanua Tĕngah, p. Polengan, p. Taji, p.
Mantyasih, p. Jurungan, dll.
Rekonstruksi bentuk
![]() |
Gambar 2. Aksara Konsonan |
Bentuk aksara yang
saya tampilkan pada tabel ini jelas tidak sama dengan persis gaya penulisan
citralekha di prasasti-prasasti. Namun, aksara yang ada pada tabel ini adalah
aksara Kawi gaya saya. Walaupun demikian, tentunya tetap dibuat berdasarkan
ciri aksara yang muncul di prasasti-prasasti di kurun waktu berkembangnya
aksara ini. Bentuk-bentuk aksara yang disusun dibuat semirip mungkin dengan
aksara-aksara di prasasti. Dengan merujuk pada deskripsi dari buku Indonesian
Palaeography oleh de Casparis (1975). Tak dapat dipungkiri bahwa ada aksara
yang belum ditemukan bentuknya sehingga set aksara tidak lengkap. Untuk itu,
diperlukan upaya rekonstruksi. Rekonstruksi ini tentulah masih sangat dangkal, karena
hanya mengandalkan sedikit bahan prasasti. Namun, masih ada keyakinan bahwa rekonstruksi
ini bisa sedikit dipercaya. Karena, aksara-aksara Kawi, memiliki pola-pola yang
bisa diamati berdasarkan bentuk aksara purwarupanya (Pallawa), anatomi/bangun
aksaranya, dan kemunculan saling tukar bentuk beda aksara untuk bunyi yang sama. Aksara atau bentuk yang direkonstruksi adalah yang diwarnai merah dalam tabel.
![]() |
Gambar 3. Angka dan Tanda Baca |
Prasasti-prasasti
seperti p. Wanua Tĕngah, p. Polengan, p. Taji, p. Mantyasih, p. Jurungan, dll.
menampilkan aksara yang tertatah apik, meskipun tanpa bentuk-bentuknya yang
banyak hiasan. Ditambah lagi pengaturan jarak antar alinea dan hurufnya
teratur. Beberapa prasasti menampilkan aksaranya yang ditatahkan miring (lihat
p. Polengan). Bentuk aksara juga sering
ditemukan beragam antar prasasti. Salah satu contoh yang saya ketahui adalah
aksara tha. Terkadang aksara ini berbentuk mirip wa yang bercoret horizontal di
tengah, namun terkadang juga tampil mirip dengan simbol infinite (∞).
Kuncir
![]() |
Gambar 4. Simbol |
Kuncir merupakan
bagian aksara yang khas dalam aksara Kawi Awal Standar. Meskipun de Casparis
menulis bahwa aksara i-, na, da, ja adalah aksara yang selalu tanpa kuncir,
aksara nga sepertinya juga mengalami hal serupa. Bagian terminal (ujung
garis aksara) – sebelah kanan atas – menurut saya bukanlah kuncir atau serif,
namun masih bagian dari stroke huruf. Penggunaan kuncir yang tidak
seragam antar prasasti, membuat dilema tersendiri. Sebagai contoh adalah aksara
berkuncir ba (lihat p. Polengan), ṇa (lihat p. Gilikan), padahal pada prasasti Kwak I (OD-1507) dan
prasasti OD-1508 , ba dan ṇa tidak dibuat berkuncir. Tidak baik mereka-reka
tanpa kajian, namun upaya penyamarataan aksara ini pastilah beralasan.
Penghilangan kuncir
Pada aksara ka, ta,
dan ga, kuncir menghilang jika dipasangkan dengan wirāma, diakritik i, ī, ĕ,
dan ő. Sepertinya hal yang sama juga dapat terjadi pada aksara kha dan śa
karena memiliki ciri yang mirip. Lihat Gambar 1 dan 4.
Menghindari
ambiguitas aksara
![]() |
Gambar 5. Varian Penyandangan ā |
Bentuk aksara
seringkali menjadi mirip dengan aksara yang lain jika penyandangan diakritik ā
tidak diperhatikan dengan baik (ambigu). Seperti contoh yang saya buat di
posting-an mengenai aksara Bali Kuna zaman Raja Śrī Suradhīpa (di
sini), aksara akan menjadi illegible (sulit dibaca). Untuk mengatasi
hal itu, rupanya leluhur kita telah menemukan caranya, yaitu penyandangan allograf
ā dibuat berbeda pada aksara-aksara tertentu. Adapun aksara-aksara tersebut
antara lain: gha, ṅa, ja, ña, ṭa, ḍa,pha, ba, la, ṣa, dan ha. Sedangkan untuk aksara ḍha, merupakan hasil
rekonstruksi.
Aksara ña, ṇa, dan ha adalah aksara yang unik. Ketiga aksara ini sering
dibuat tidak seragam, ketika membentuk ligatur. Ketidakseragaman yang dimaksud
adalah penyandangan suku (vokalisasi u (juga suku ilut ū)) dan pembentukan
ligatur bersama beberapa aksara konsonan. Beberapa tatahan menyandangkan
vokalisasi suku di tengah aksara, namun terkadang malah di garis vertikal ujung
aksara. Jadi, menurut saya ada cara lama yang masih melekat dan cara baru yang pernah
diterapkan. Cara lama menandakan pemasangan atau penyandangan masih memiliki
ciri dari aksara Pallawa. Sedangkan cara baru menghilangkan ciri Pallawa dengan
menyamakan aksara-aksara ini dengan yang lain, sehingga cirinya seragam.
Referensi
de Casparis, J. (1975). Indonesian Palaeography: a History of Writing in
Indonesia from the Beginning to c.A.D. 1500. Leiden/Kőln: E.J. Brill.
Suryani NS, E. (2012). Filologi. Bogor: Ghalia Indonesia.
Rustan, S. (2010). Font & Tipografi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
van der Mollen, W. (1985). "Sejarah Perkembangan Aksara Jawa"
dalam Aksara dan Ramalan Nasib dalam Kebudayaan Jawa, Soedarsono, dkk (Peny.)
no.13, Yogyakarta: Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara,
Direktorat Jendral Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.Terdapat
pada http://epigraphyscorner.blogspot.com/2014_05_01_archive.html, diakses
tanggal 4 Mei 2015.
Makasih tambahan ilminya bli Ida Bagus Komang Sudarma.
BalasHapus