Gambar 1. Prasasti Jragung di Prambanan |
Durgatipariśodhana Tantra adalah sebuah pustaka Buddhis yang merujuk pada tradisi Yoga Tantra. Ajaran ini dibabarkan oleh Buddha Śākyamuṇi kepada sekelompok dewa dalam bentuk percakapan dan tanya jawab. Di antara para dewa, terdapatlah Dewa Indra yang bertanya kepada Sang Buddha mengenai seorang dewa muda, Vimalamaṇiprabha yang terjatuh dari Surga 33 Dewa ke neraka avici. Buddha menjawab bahwa setelah dewa muda ini masuk ke neraka avici, dia mengalami penderitaan yang tak tertahankan. Para dewa sangat sedih dan terpukul mendengar kabar tersebut. Mengetahui keadaannya demikian, Dewa Indra bertanya kepada Buddha cara menyelamatkan Vimalamaṇiprabha sekaligus makhluk lain agar selamat dari deritanya dan segera terlahir kembali.
Sang Buddha berkonsentrasi dengan sangat dalam, kemudian memulai pengajarannya yang terdiri dari penjelasan sejumlah ritual. Ajaran ini tidak dikhususkan hanya bagi yang sudah tiada agar mendapatkan kelahiran yang lebih baik. Namun juga diarahkan untuk kesejahteraan bagi makhluk yang masih hidup.
Gambar 2. Baris-Baris Mantra dari Prasasti Jragung (baris 1-4) |
Mantra-mantra ini berasal dari teks Durgatipariśodhana versi Sanskrit dari Nepal. Mantra-mantra ini terdapat pada bagian yang menjelaskan mudrā. Setiap mudra diwakili oleh sebuah mantra yang berbeda. Mudra dijelaskan dengan rinci, yaitu posisi jari-jari dengan bentuknya yang khas.
Mantra ini ditatahkan pada baris 1-4 dari prasasti Jragung. Pada baris pertama dan kedua, terdapat baris mantra yang tidak teridentifikasi karena penampakan ukiran aksaranya sangat tidak jelas, namun terbaca “(1)bajra…(2)sarwwa wighnān swāhā”. Ada perbedaan yang tidak terlalu signifikan antara mantra asli Sansktit dengan mantra di prasasti. Berikut disajikan perbandingan mantra dari teks Nepal dan prasasti Jragung, dan disertai mudranya. Angka dalam kurung menandakan baris mantra dari prasasti Jragung.
No.
|
Mantra
|
Mudrā
| |
Teks Nepal
|
P. Jragung
| ||
1
|
oṁ vajrānala hana daha paca matha bhañja raṇa huṁ phaṭ
|
(1) oṁ ba[jrā]nala ha[na daha paca matha] bhañja raṇa huṁ [phaṭ]
|
vajrānala mudrā
|
2
|
oṁ hulu hulu huṁ phaṭ
|
(2) oṁ hulu hulu huṁ phaṭ
|
vajrabhairavanetra mudrā
|
3
|
oṁ druṁ bandha haṁ
|
(2) oṁ [druṁ] bandha [ha]ṁ
|
vajroṣnīṣa mudrā
|
4
|
huṁ vajrapāśe hrīḥ
|
(2) [huṁ] (3) bajrapāśe huṁ
|
vajrapāśa mudrā
|
5
|
huṁ vajrayakṣa huṁ
|
(3) oṁ bajrayakṣa huṁ
|
vajrayakṣa mudrā
|
6
|
oṁ vajraśikhare ruṭ maṭ
|
(3) oṁ bajraśi[kha]re [ru]ṭ [maṭ]
|
vajraśikharā mudrā
|
7
|
huṁ vajrakarma huṁ
|
(4) huṁ bajrakarmma huṁ
|
vajrakarma mudrā
|
Ada hal yang menarik dengan mantra-mantra ini dengan ritual pedanda bodha (buddha) di Bali. Saya mengira-ngira bahwa pedanda bodha meneruskan tradisi dari Buddhisme Vajrayana (terlihat dari sarana upacara yang menggunakan vajra dan genta) yang berkembang di Jawa. Menurut Purwaka Wedha Buddha (lontar pedoman pedanda bodha dalam melakukan upacara), terdapat mantra-mantra yang identik dengan mantra-mantra di atas. Adapun mantra-mantra yang identik itu adalah: (1) oṁ bajra aṅkuśa jaḥ, (2) oṁ bajra paśā huṁ, (3) oṁ bajra yakṣa mwaṅ dṛṣya huṁ, (4) oṁ bajra yakṣa huṁ phaṭ, (5) oṁ bajranala anandahana paca mata panjara mahā krodha huṁ phaṭ, (6) oṁ bajra yakṣa.
Mantra-mantra tersebut digunakan saat melakukan puja pada suatu upacara. Mantra (1) sampai dengan (3) didaras pada saat Nyatur Dewa Yakṣa, yaitu menyebutkan para penguasa 4 mata angin. Mantra no. (4) dan (5) ketika menggunakan genitri/tasbih. Dan mantra no. (6) digunakan ketika menggunakan bajra. Pendarasan sejumlah mantra ini juga disertai mudrā atau gerakan lain.
No
|
Mantra
|
Gerakan
|
1
|
oṁ bajra aṅkuśa jaḥ
| |
2
|
oṁ bajra paśā huṁ
| |
3
|
oṁ bajra yakṣa mwaṅ dṛṣya huṁ
| |
4
|
oṁ bajra yakṣa huṁ phaṭ
| |
5
|
oṁ bajranala anandahana paca mata panjara mahā krodha huṁ phaṭ
| |
6
|
oṁ bajra yakṣa
|
Melihat mantra-mantra yang identik antara mantra di prasasti Jragung dan lontar Purwaka Wedha Buddha, menguatkan dugaan bahwa pedanda bodha di Bali masih melestarikan warisan kebuddhaan dari Jawa. Walaupun prasasti Jragung diperkirakan berasal dari abad 8 - 9 Masehi, mantra-mantra yang sakral ini masih dapat ditemukan sampai saat ini, baik di Nusantara maupun di luar negeri. Sepertinya hal ini dapat terjadi seperti penjelasan dari Sarvadurgatipariśodhana Tantra yang menyatakan mantra ini bermanfaat bagi kesejahteraan setiap makhluk. Sabbe sattā bhavantu sukhitattā.
Referensi
Astawa, A. A. Gede Oka. 2007. Agama Buddha di Bali. Balai Arkeologi Denpasar: Denpasar
socrates.leidenuniv.nl
socrates.leidenuniv.nl
Skorupski, T. 1983. The Sarvadurgatipariśodhana Tantra: Elimination of All Evil Destinies. Motilal Banarsidass: Delhi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar